Select Page

Kejadian 46:30.

“Berkatalah Israel kepada Yusuf: “Sekarang bolehlah aku mati, setelah aku melihat mukamu dan mengetahui bahwa engkau masih hidup.”

MATI

Saya percaya, banyak orang sangat takut tatkala berbicara tentang kematian. Ada orang-orang yang menganggapnya hal yang tidak sopan, tidak pantas dan bahkan tabu, apabila membicarakan topik ini. Tapi, dalam suasana Natal, kita tahu, bahwa itulah yang ada di benak Yesus, tatkala Ia datang ke dalam dunia. Ia tahu, bahwa Ia akan mati. Ia datang untuk mati. Karena tidak ada jalan lain untuk bisa menggantikan manusia yang seharusnya dihukum mati dan memadamkan api murka Allah yang menyala-nyala, selain oleh kematian-Nya. Melalui kematian-Nya, kita manusia yang berdosa ini boleh memperoleh keselamatan dan pengampunan dosa. Maka kematian tidak menakutkan bagi-Nya, tidak membatalkan rencana-Nya dan tidak menggagalkan kehendak-Nya.

Yang lebih mengerikan adalah, Yesus bukan hanya tahu pasti mati, tapi kapan mati (hari, tanggal, bulan tahun dan jam), di mana mati, bagaimana mati (berapa lubang luka dalam tubuh-Nya), di tangan siapa mati, berapa lama mati, bersama siapa mati, diletakkan di mana tubuh-Nya, siapa yang menurunkan, dll. Ia tahu semua dengan persis dan tepat. Tapi, Ia tidak takut.

Demikian juga dengan Rasul Paulus. Ia juga tidak takut berbicara tentang kematian. Baginya mati adalah keuntungan. Gain. Beneficial. Luar biasa sekali kalimat itu.

Tapi, masih ada 1 orang lagi, yang tidak takut membicarakan, bahkan meminta mati sekarang, yaitu Yakub. Ia dengan berani membicarakan kematian. Ia tidak takut. Ia tidak menyembunyikan. Ia tidak mundur saat berhadapan dengan kematian. Bahkan:

a.       Ia mengatakannya berulang kali (45:28; 46:30).

Yakub mengatakan dan membicarakan tentang kematian bukan hanya 1x. Ia membicarakannya berulang kali. Ia sudah mengatakan waktu mendapat kabar tentang Yusuf yang masih hidup. Ia mengatakannya lagi, saat ia betul-betul sudah bertemu Yusuf.

 

b.      Ia mengatakannya dengan konsisten (45:28; 46:30).

Untuk bisa konsisten, itu sungguh sangat berat. Konsisten tidak mengenal waktu, tempat dan keadaan sekitar. Tidak peduli di mana saja, ada apa saja, bersama siapa saja, kalau memang ia harus melakukan hal tersebut, ia juga harus melakukan hal tersebut. Dalam hal olah raga misalnya. Tidak pedul di mana saja, hujan atau panas, sendirian atau bersama orang lain, membawa pakaian olah raga atau tidak, dll., tetap kalau memang waktunya tiba untuk berolah raga, maka ia akan berolah raga. Demikian juga dengan Yakub. Di Kanaan, ia sudah mengatakannya. Setelah beberapa bulan, dalam perjalanan ke Mesir, sampai tiba di Mesir, ia masih tetap konsisten mengatakannya.

 

c.       Ia mengatakannya secara terbuka (45:25-28).

Ia tidak mengatakan secara tersembunyi, bisik-bisik atau saat tidak ada orang. Ia mengatakannya di depan semua anaknya dan semua orang yang ada. Semua orang bisa mendengar dan mengetahui sikap hatinya terhadap kematian.

 

d.      Ia mengatakannya dengan penuh keyakinan (”Sekarang,” v 30).

Ia tidak berkata ”nanti” atau ”mungkin” atau yang lainnya. Ia mengatakan ”sekarang.” Kalau memang kematian itu datang sekarang, ia sudah siap. Ia tidak akan mundur. Ia tidak akan lari. Ia tidak akan menawar. Tidak ada yang belum diselesaikannya. Tidak ada hal yang menahannya. Rupanya ia memang sudah sungguh siap mati.

 

e.       Ia mengatakannya dengan penuh kepuasan (”Boleh,” v 30).

Yakub sungguh merasa lega bisa melihat Yusuf lagi dalam keadaan baik. Ia tidak bertemu dengan Yusuf 13 tahun. Sekarang ia sungguh merasa bahagia. Ia bahagia bukan karena bisa menipu ayahnya, kakaknya, pamannya, dll. Ia bahagia bukan karena bisa memiliki banyak istri dan anak. Ia bahagia bukan karena bisa bergumul melawan malaikat dan menang. Ia bahagia bukan karena bisa makan di saat bencana kekeringan. Ia bahagia bukan karena bisa hidup di tanah tersubur di Mesir. Ia bahagia bukan karena tubuhnya masih sehat dan matanya masih terang, sehingga bisa mengadakan perjalanan dari Kanaan ke Mesir dan melihat Yusuf dengan baik. Dll. Ia bahagia dan puas karena bisa bertemu kembali dengan Yusuf.

 

Bagaimana dengan kita sebagai anak-anak Tuhan, apakah kita takut berbicara dan berhadapan dengan kematian? Kematian itu pasti. Justru dengan menyadari hal ini, kita bisa menggunakan waktu kita dengan bijaksana dan semua kesempatan yang ada untuk melakukan hal-hal  yang memuliakan Tuhan.